Minggu, 30 November 2014

Anak Petani Menjadi Pengusaha Sukses

Najamuddin Bukan Main Kisah Anak Petani Menjadi Pengusaha Sukses

Lahir dan dibesarkan di keluarga miskin, membentuk karakter Najamuddin menjadi sosok pekerja keras dan pantang menyerah. Sejak kecil ia sudah harus melakoni pekerjaan yang semestinya dikerjakan orang dewasa. Hanya dengan mengandalkan hasil panen sawah, itupun cuma beberapa petak, Jafarruddin dan Hj. Sanong, yang tak lain adalah ayah dan ibu dari sebelas anak, sangat keteteran membiayai kebutuhan keluarga. Jangankan memikirkan pendidikan Najamuddin beserta saudara-saudaranya, biaya hidup sehari-hari saja, sulitnya bukan main. Praktis, hari berganti hari hanya berkutat pada upaya bertahan hidup (struggle for life), alih-alih menyusun perencanaan masa depan bagi anak-anaknya. Saat itu, masa depan bagi Najamuddin adalah gambaran akan kegetiran hidup yang siap mencengkram di masa depan.

Keadaan demikian yang menjadikan Naja kecil kala itu, sudah harus memikirkan hal-hal yang semestinya menjadi beban orang tua. Saat duduk di bangku sekolah dasar, Naja sudah harus bersiasat dengan waktu. Ketika waktu shalat Subuh baru saja berlalu, Naja sudah meninggalkan rumah, kala hari masih gelap. Dengan semangat khas anak Luwu, ia bergegas menyisir tiap jengkal semak belukar pedalaman di pinggiran kampung, mencari buah kelapa yang mungkin jatuh di malam tadi. Kalau kebetulan beruntung, kelapa tersebut ditenteng ke sekolah untuk ditukar dengan kue janda yang menjadi jajanan favorit saat itu. Kalau nasib lagi sial, terpaksa harus gigit jari menyaksikan teman-teman lainnya menikmati kue janda dikala istirahat belajar. Segera setelah pulang sekolah, Naja sudah ada di pinggiran kampung menggembala kerbau. Di kala musim tanam padi tiba, Naja harus ikut membantu orang tua membajak sawah. 


"PERNAH SUATU KETIKA, SAYA MEMBAJAK SAWAH PADA JAM DUA MALAM SEBAB KEESOKAN HARINYA, HARUS IKUT ULANGAN DI SEKOLAH", tutur Najamuddin seraya menerawang, saat menceritakan kisah hidupnya ke wartawan Tribun Palopo di rumahnya di kompleks Bumi Permata Hijau (BPH) Makassar. Memasuki bangku SMP, Naja tumbuh menjadi pemuda usia belasan yang berbadan kekar. Dengan postur kekar dan kuat, sudah tentu sangat menguntungkan. Dengan begitu, ia merasa lebih percaya diri melakukan pekerjaan-pekerjaan lebih berat. Pekerjaan lebih berat tentu penghasilannya lebih besar, begitu fikiran Naja muda saat itu. Pada usia setamparan anak SMP, Naja menjadi kuli angkut, kuli bangunan, dan melakoni pekerjaan orang dewasa lainnya.

Saat truk angkutan barang dari Makassar tiba, kami bersama beberapa orang di kampung, menjadi kuli angkut barang dari mobil ke toko-toko di sepanjang jalan di Belopa sampai di Bajo. Saat itu, diantara semua kuli angkutan, saya adalah kuli termuda. Dari pengalaman menjadi kuli angkut tersebut, Najamuddin merekam dengan baik denyut nadi kegiatan bisnis di wilayah tersebut. Lewat rekaman peristiwa ini, naluri bisnis anak Luwu yang dilahirkan pada tanggal 23 Februari 1968 ini, kian membuncah. Pendeknya, Najamuddin selalu berfikir untuk menghasilkan peser demi peser uang dari pekerjaan apapun, asalkan halal.
"SAYA TIDAK MENYESAL TERLAHIR DAN DIBESARKAN DARI KELUARGA PETANI YANG MISKIN" seloroh Najamuddin sambil mengenang masa lalunya. Sebagai anak kedua dari keluarga miskin di desa terpencil, Naja tidak pernah merasa risih apalagi gengsi melakukan pekerjaan yang menurut orang lain adalah pekerjaan kasar. Semua pekerjaan ini dilakoni hingga Najamuddin menamatkan bangku SMA di 1 Belopa.

Dari pengalaman hidup yang demikian berat dan menantang, sosok Najamuddin terbentuk menjadi pribadi yang tidak gamang menghadapi masa kini dan kikuk menatap masa depan.
"SAYA SELALU BERUSAHA MENJADI YANG TERBAIK DIMANAPUN SAYA BERADA",
tutur Naja. Di ruangan kelas, meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja di luar jam sekolah, saya tidak pernah tinggal kelas, bahkan selalu menjadi juara kelas. Naja berprinsip, biarpun anak desa, tetapi harus selalu tampil beda, demikian semboyannya yang diulang berkali-kali selama perbincangan itu. Selepas SMA, Najamuddin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Makassar, la masuk ke UMI (Universitas Muslim Indonesia). Disana, Naja mengambil jurusan hukum. Semester awal adalah masa paling berat bagi Naja saat itu. Sebagaimana mahasiswa di rantau yang mengandalkan kiriman dari orang tua, Naja tidak punya pengalaman demikian. Jangankan mengirimi uang, untuk hidup keluarga saja di kampung sangat berat. Pada saat yang sama, Naja tidak punya pilihan. la harus melanjutkan hidup di Makassar. Hal ini lagi-lagi memaksanya memutar otak menemukan siasat bertahan hidup (siasat survivalitas) untuk membiayai kuliah. Naja pun lalu memilih bergabung dalam kelompok pengusaha di Makassar. Dari sinilah, perlahan namun pasti, insting bisnis Najamuddin makin matang. Beberapa tahun setelah kuliah, Naja memilih hijrah ke Soroako. Disana ia dipercaya beberapa pengusaha lokal mengelola perusahaannya. Naja sempat mengendalikan empat perusahaan kontraktor di Soroako. Setelah mengetahui seluk beluk dunia kontraktor lebih mendetail, Naja pun mendirikan perusahaan kontraktor sendiri. Dalam rentang waktu lima tahun, Naja menjadi kontraktor tetap di PT Inco Soroako sampai saat ini. Tak berhenti disitu, Naja lalu mendirikan perusahaan penyedia jasa pengamanan. Perusahaan penyedia jasa pengamanannya mengalami perkembangan pesat. Saat ini, PT BPI sudah memiliki karyawan kurang lebih seribu orang yang dipekerjakan di perusahaan perusahaan BUMN dan swasta di hampir seluruh ka-bupaten di Sulawesi Selatan.

Setelah dirasa cukup mapan, dua tahun terakhir, Naja lalu memilih melakukan ekspansi ke Makassar. Tak butuh waktu lama, perusahaan Naja mampu mengambil peran penting di Makassar. Saat ini, perusahaannya merupakan salah satu mitra PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), sebuah perusahaan konstruksi berskala nasional. Perjalanan hidupnya yang begitu pelik, keras dan penuh warna, membentuk sosok Naja menjadi pribadi pemikir dan pekerja keras. Tak pernah terlintas di benaknya, bahwa kelak akan mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin di tanah Luwu. "Jangankan menjadi walikota ataupun Bupati, terfikir untuk menjadi kepala desa saja, saya tidak pernah", katanya. 


"BAYANGKAN, UNTUK MAKAN SAJA, KELUARGA SAYA MENGALAMI KEKURANGAN. BAGAIMANA MUNGKIN ANAK SEORANG PETANI MISKIN AKAN BERFIKIR MENJADI PEMIMPIN SAAT ITU" lanjutnya.


Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Tak ada yang bisa menduga nasib seseorang. Kalau hari ini, Naja berketetapan hati melangkah menuju kursi Walikota Palopo, tentu hal tersebut merupakan pilihan dan tekadnya. Baginya, ia merasa sudah waktunya untuk mengabdikan diri pada masyarakat. 


"SAYA ADALAH ANAK PETANI MISKIN. SAYA PERNAH JADI KULI ANGKUTAN. SAYA PERNAH JADI KULI BANGUNAN. SAYA PERNAH JADI BERANDALAN. HAMPIR SEMUA PEKERJAAN KASAR TELAH SAYA LAKUKAN. ITU MAKANYA, SAYA TAHU DAN SANGAT MEMAHAMI JERITAN HATI RAKYAT KECIL, DAN SAYA TAHU BAGAIMANA MENYUDAHI ITU SEMUA. SAYA TIDAK MAIN-MAIN. ITU MAKANYA SAYA INGIN JADI WALIKOTA PALOPO. SAYA INGIN MEMBUKTIKAN BAHWA SEORANG ANAK PETANI MISKIN MAMPU MENCIPTA-KAN SEJARAH" pungkas Naja, mantap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar